BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 30 Mei 2009

Think Smart Now


Baik langsung maupun tidak, dampak pemanasan global sudah kita rasakan. Periksa saja, makin hari Jakarta—bahkan bumi ini—makin panas. Perubahan musim dan cuaca yang tidak terduga, munculnya wabah penyakit, dan timbulnya bencana alam seharusnya sudah menjadi warning bagi kita bahwa bumi kita mulai ’sakit’. Di kawasan kota yang telanjur padat, memperoleh lahan terbuka bukanlah soal mudah. DKI Jakarta dengan lahan seluas 66.126 hektar dan ruang hijau 9 persen atau 5.951 hektar, perlu membebaskan sekitar 13.000 hektar lahan bila ingin memenuhi patokan lazim 30 persen lahan terbuka hijau.

Bayangkan saja bila puncak-puncak gedung berubah menjadi hijau dan udara di kota menjadi segar, atau bahkan bila taman di puncak gedung itu menjadi wahana wisata kota tentulah akan memberikan penghasilan tambahan bagi pemerintah kota maupun pemilik gedung tersebut.

Jepang juga menghadapi persoalan sama. Sejak abad ke-17, sifat land hungry (lapar lahan) dalam praktik mengonsumsi lahan perkotaan telah menyebabkan tampilan kota di Jepang tak jauh berbeda dari kota besar Asia lainnya.
Karena lahan perkotaan telah telanjur disesaki bangunan, maka sasaran perolehan sel-sel hijau daun beralih pada hamparan atap datar gedung-gedung yang justru lebih banyak dibanjiri cahaya matahari. Sebenarnya gerakan atap hijau telah muncul di Jepang sejak awal abad ke-20 melalui konsep eco-roof, tetapi sifat pengembangannya masih ekstensif. Atap hijau jenis ini ditandai struktur atap beton konvensional dengan biaya dan perawatan taman relatif murah karena penghijauan atap hanya mengandalkan tanaman perdu dengan lapisan tanah tipis.
Rancangan, perwujudan, dan pengelolaan atap hijau intensif membutuhkan kerja sama dan keterlibatan bukan hanya kalangan arsitek, ahli pertamanan, sipil, mesin dan listrik, tetapi juga ahli lingkungan, biologi, pertanian, dan kesehatan. Inilah salah satu bentuk penerapan prinsip arsitektur berkelanjutan yang diformulasikan Richart J Dietrich, pendiri pusat riset Baubiologie (biologi bangunan) dan Biooekologi (ekologi bangunan) di Jerman. arsitektur masa depan sebagai hasil rekayasa super-system yang ditandai kompromi selaras antara ranah teknologi dan ranah alam melalui pendekatan perancangan multidisiplin.
Walaupun investasi yang dibutuhkan untuk membuat atap hijau cukup tinggi, bukan berarti upaya peduli lingkungan ini bertentangan dengan semangat mengejar keuntungan ekonomi, terbukti kini banyak fasilitas komersial yang menerapkan konsep atap hijau intensif. Salah satu di antaranya adalah Namba Park, sebuah mal gaya hidup di pusat kota Osaka.
Jerde Partnership merancang Namba Park sebagai mal bertema gurun yang dipadu atap hijau berlapis-lapis menyerupai lahan terasering. Namba Park memiliki taman atap seluas 8.000 meter persegi dengan 40.000 tanaman, termasuk 35 jenis tanaman pohon dan 200 jenis tanaman bunga.
Sistem irigasi atap hijau Namba Park menggunakan teknik penyiraman sprinkle yang diadopsi dari metode tradisional pendinginan jalan di Jepang, yaitu air hujan yang mengalir melalui jalan ditampung di bawah perkerasan jalan untuk kemudian ditapis kembali ke permukaan jalan dengan sistem kapiler. Hasil penelitian menunjukkan, selama proses evaporasi suhu permukaan atap hijau dapat ditekan hingga 25° Celsius lebih rendah dibandingkan dengan permukaan aspal.
Atap hijau kompleks Namba Park terbukti mampu mengurangi dampak panas akibat kegiatan di dalam bangunan maupun panas yang dihantarkan sosok bangunan. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan perusahaan Obayashi selama tiga hari pada musim panas Agustus 2003 menunjukkan, rata-rata suhu atap hijau mencapai 17° Celsius lebih rendah dibandingkan dengan atap parkir di dekat Namba Park. Sedangkan panas yang ditransmisikan atap hijau ke dalam bangunan hanya mencapai sepersepuluh dari transmisi panas atap beton konvensional.
Menyadari banyaknya keuntungan dari atap hijau, Mori Building Company menerapkan cara yang sama terhadap salah satu kompleks superblok Roppongi Hills di Tokyo. Di atap kompleks Keyakizaka yang sekujur sosoknya dibalut kaca, perancang lanskap Yohji Sasaki merancang sawah mini dan kebun sayuran seluas 1.300 meter persegi. Di areal sawah dengan ketinggian 43 meter di atas tanah ini, para anggota Roppongi Hills Gardening Club dapat menyalurkan kerinduan dan keingintahuan mereka tentang cara bercocok tanam padi dan sayuran. Motto mereka dalam mengelola atap hijau adalah: “Hijaukan Roppongi Hills dengan Kedua Tangan Kita Sendiri”.
Atap hijau dengan konsep kebun percobaan juga ada di kompleks Sio-Site, kawasan peremajaan bekas pelabuhan di Tokyo yang didominasi 15 gedung pencakar langit. Sedangkan Hiroshi Hara menampilkan atap hijau sky way pada ketinggian 50 meter sebagai klimaks kompleks mixed use Stasiun Kyoto. Dari balik dinding pengaman transparan di sekeliling atap hijau Stasiun Kyoto, pengunjung dapat menikmati panorama kota tua Kyoto hingga ke batas cakrawalanya. Inilah sensasi taman melayang yang tidak dapat ditemukan pada taman di darat.
Manfaat atap hijau bukan hanya sebatas peningkatan nilai estetika dan penghematan energi, pengurangan gas rumah kaca, peningkatan kesehatan, pemanfaatan air hujan, serta penurunan insulasi panas, suara dan getaran, tetapi juga penyediaan wahana titik temu arsitektur dengan jaringan biotop lokal. Perannya sebagai “batu loncatan” menjembatani bangunan dengan habitat alam yang lebih luas seperti taman kota atau area hijau kota lainnya.
Fakta di atas dibuktikan melalui penelitian terhadap Next 21-Osaka, apartemen milik perusahaan Osaka Gas yang bangunan sekaligus penghuninya dijadikan obyek uji coba bangunan hemat energi. Persemaian biji-bijian yang dibawa 19 spesies burung pengunjung rutin atap hijau Next 21 dalam kurun waktu 15 tahun telah menghasilkan jaringan biotop lokal dengan 140 jenis tanaman dan pohon. Temuan ini lebih mengukuhkan peran atap hijau bukan hanya sebagai magnet baru bagi warga urban, tetapi juga sebagai media penarik kembali habitat flora fauna yang selama ini sempat tergusur kelabunya belantara beton kota. Berikut ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan taman di atap gedung :
Pertama pastikan dahulu konstruksi atap gedung kuat menahan beban adanya tanah dan tanaman diatasnya. Pastikan juga bahwa atap gedung memiliki saluran pembuangan air yang memadai.
Kedua buat akses kepuncak gedung, bagaimanapun untuk membuat taman di puncak gedung harus mengangkuti banyak benda dan tanaman keatas. Akses keatas kegung ini bisa dibangun sendiri maupun yang dijual.Dan pastikan itu tidak mengganggu orang lain.
Ketiga buat konstruksi pelindung angin dan panas sebelum taman yang Anda buat rusak dikarenakan angin kencang yang bertiup di puncak gedung dan panas yang tinggi. Perlu dibuat semacam atap pelindung dan pastikan peletakan kontainer Anda aman dari terpaan angin.
Keempat pertimbangkan penggunaan material yang ringan untuk mengurangi beban yang berat
Kelima penyiraman dan pemilihan tanaman karena suhu di puncak gedung yang lebih tinggi daripada suhu diatas tanah. Penyiraman harus lebih sering karena penguapan terjadi lebih cepat dan tanaman yang dipilih adalah tanaman yang tahan panas.
Keenam pemberian alas dibawah tanaman untuk mencegah kerusakan pada atap gedung.
Teknik yang dapat dipakai dalam pembuatan taman diatap gedung adalah :
1. Container Gardening
Bercocok tanam dalam kontainer dapat dilakukan dengan menanam tanaman menggunakan pot, polibag, barang-barang bekas (ban, jerigen, drum, bak dan lain-lain ).
2. Hidroponik
Bercocok tanam hidroponik cocok untuk dilakukan karena tidak butuh tanah yang banyak. Tetapi kendalanya adalah air dan suhu yang ekstrem di puncak gedung
3. Kombinasi Container Gardening dengan Pilar Gardening
Penggunaan tiang- tiang dan kawat untuk merambatkan tanaman dapat dipakai dengan dikombinasikan dengan teknik Container Gardening. Kelebihan teknik ini bisa di pakai sebagai atap daun untuk mengurangi terik matahari diatap gedung. Dibawahnya ditanam tanaman lain dalam kontainer yang lebih pendek daripada tiang di dekatnya.
4. Penanaman Langsung
Setelah pemasangan alas diatap gedung, kemudian dilanjutkan dengan peletakan media tanah diatasnya secara langsung dan kemudian ditanami. Dengan teknik ini membutuhkan jumlah tanah yang cukup banyak tapi juga menghasilkan taman yang lebih indah seperti dicontohkan di puncak gedung di Chicago, selain itu juga butuh biaya yang sangat besar untuk perawatannya lebih lanjut. Dengan teknik ini hal-hal yang harus dipertimbangkan antara lain :
• Struktur bangunan (atapnya tentu saja)
• Penyimpanan air dan irigasi
• Alas yang dapat menyerap air
• Lapisan pelindung cahaya
• Media tanam

0 komentar: