BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 31 Mei 2009

Dunia Kelam Pendidikan


Pada masa seperti sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting peranannya. Orang-orang berlomba untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin canggih. Sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar pada akhinya putus sekolah juga. Ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya keterbatasan adanya pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya niat seseorang individu untuk mengenyam pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah tertinggal dan selain itu karena adanya faktor lingkungan ( pergaulan ).
Seperti yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada salah satu butir yang tercantum disana dijelaskan bahwa adanya pencerdasan kehidupan bangsa, jadi bagaimna sekarang sikap pemerintah dan masyarakat harus dapat menyikapi hal tesebut, karena secara tidak langsung orang yang tidak menyenyam pendidikan formal akan dekat dengan kebodohan dan kemiskinan. Mereka yang tidak mengenyam pendidikan akan merasa malu dan minder untuk berkompetisi dengan orang yang mengenyam pendidikan. Pada akhirnya mereka akan tersisih karena keterbatasan mereka tersebut.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar. Sedangkan warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP atau sederajat. Pasal 6 ( 1 ) disebutkan, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, 2 ( a ) disebutkan, bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Seperti yang diuraikan diatas, pendidikan merupakan hak bagi anak. Hak yang wajib dipenuhi dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan.
Namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan, khususnya menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Banyak faktor yang menjadi kendala agar pendidikan dapat terealisasikan. Seperti misalnya saja dari faktor orang tua, tidak semua orang tua mau menyerahkan anaknya untuk bersekolah. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan putra-putrinya di sekolah formal. Faktor yang lainnya yaitu faktor lembaga pendidikan yang menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. . Pendidikan kini dikelola dengan sangat modern. Fasilitas gedung dan alat-alat peraga serba representatif dan hightech. Tata kelolanya dibuat senyaman mungkin bagi anak didik untuk belajar. Ruangan ber AC. Halaman luas lengkap dengan fasilitas bermain. Katanya, inilah sebab mengapa pendidikan mahal. Pendidikan sekarang sudah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan bagi para pemilik modal. Bisnis pendidikan, istilahnya. Kalau bisnis, berarti sangat kecil peluang untuk bisa berempati terhadap masuknya anak kurang mampu agar bisa merasakan fasilitas pendidikan elit itu. Bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali peluangnya. Akhirnya, anak-petani sekolah apa adanya di sekolah yang kurang bermutu. Yang belajarnya ala kadarnya. Atau bahkan memilih tidak sekolah.
Disamping itu, faktor dari pemerintah untuk mewujudkan pendidikan juga sangat berpengaruh. Pemerintahlah yang berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan ditambah dengan adanya bantuan dari berbagai pihak. Melalui program-programnya seharusnya pemerintah mampu memberdayakan semua elemen pendidikan. Misalnya program yang telah digulirkan pemerintah sebelumnya seperti Gerakan Orang Tua Asuh ( GN-OTA ) yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1996 dimana berfungsi untuk meningkatkan kualitas anak sebagai aset penerus bangsa disamping meminimalkan kemiskinan secara komprehensif dan menyeluruh, juga memiliki misi mengembangkan dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab masyarakat terhadap masa depan anak bangsa. Peranan GN-OTA ini dalam Prokesra MPMK dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah menuntaskan keluarga pra-sejahtera dan keluaraga sejahtera 1. Sedangkan yang kedua adalah pemberdayaan keluarga masa depan. Untuk memaksimalkan fungsinya diperlukan kerja keras untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari ancaman putus sekolah.
Namun kebijakan pemerintah melalui GN-OTA untuk mengatasi siswa yang tidak tertampung di sekolah masih jauh dari yang diharapkan sebelumnya. Walaupun pemerintah sudah mengeluarakan kebijakan ini, tetapi masalah anak yang putus sekolah tidak dapat diselesaikan juga. Program terbaru yang dikeluarkan untuk mengurangi masalah anak yang putus sekolah adalah BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ). Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) ini adalah program bantuan pembiayaan pendidikan. Yang mana pemanfaatannya adalah untuk mengurangi biaya pendidikan yang dikeluarkan para siswa.
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan ini, tapi masalah yang dihadapi mengenai banyaknya anak yang putus sekolah tak dapat diselesaikan juga. Di Bali sendiri, kebijakan ini sudah direalisasikan. Sebelumnya Bali boleh berbangga karena belakangan ini mulai ikut berbicara di kancah ilmu pengetahuan melalui sejumlah keberhasilan yang diraih siswa sekolah. Misalnya dalam olimpiade fisika dan lainnya. Akan tetapi, itu tidak menghapus realitas bahwa Bali masih menyimpan angka putus sekolah walaupun kebijakan pemerintah mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) sudah direalisasikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan ( Disdik ) Propinsi Bali, sekolah ( SD, SMP, SMA/SMK ) yang terdaftar di Bali tercatat sebanyak 3.184 sekolah yang tersebar. Berikut data sekolah yang tersebar di berbagai daerah di bali
Daftar Sekolah yang tersebar di Bali

No Nama Kota/Kab. SD SLTP SLTA PT Lain-lain Total
1 Kab. Buleleng 515 77 54 5 2 653
2 Kab. Jembrana 196 31 26 1 1 255
3 Kab. Tabanan 337 41 28 3 - 409
4 Kab. Badung 265 42 31 4 2 344
5 Kab. Gianyar 290 45 40 1 1 377
6 Kab. Klungkung 144 22 15 - - 181
7 Kab. Bangli 163 24 15 - 1 203
8 Kab. Karang Asem 364 36 24 1 - 425
9 Kota Denpasar 210 49 51 25 2 337
TOTAL 2.484 367 284 40 9 3.184
Data : 2005/2006
Sedangkan data angka putus sekolah ( mulai jenjang pendidikan SD, SMP hingga SMA/SMK ) di Bali pada tahun 2005-2006 yang didapat dari Dinas Pendidikan ( Disdik ) Propinsi Bali mencapai 1.686 orang yang tersebar di berbagai daerah dibali. Sekalipun angka ini menurun dari tahun 2004-2005 yang tercatat 1.879 orang. Berikut data anak yang putus sekolah yang tersebar di berbagai daerah di Bali
Daftar anak yang putus sekolah di bali

No Nama Kota/Kab. Jumlah anak yang putus sekolah
1 Kab. Buleleng 482 orang
2 Kab. Jembrana 213 orang
3 Kab. Tabanan 133 orang
4 Kab. Badung 83 orang
5 Kab. Gianyar 115 orang
6 Kab. Klungkung 66 orang
7 Kab. Bangli 151 orang
8 Kab. Karang Asem 368 orang
9 Kota Denpasar 75 orang
TOTAL 1.686 orang
Data 2005-2006
Data anak putus sekolah per_tingkat di Bali

No Tingkat Jumlah
1 SD 704 orang
2 SLTP 431orang
3 SLTA 359 orang
4 SMK 192 orang
Jumlah 1.686 orang
data 2005/2005
Dari data diatas membuktikan bahwa masih ada anak yang putus sekolah di Bali yang tersebar di berbagai daerah di Bali. Masih adanya anak yang putus sekolah ini disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti Keterbatasan dana, hilangnya minat untuk melanjutkan sekolah, faktor lingkungan.
Persoalan putus sekolah di Bali cukup membuat kita miris. Data Dinas Pendidikan Propinsi Bali menyebutkan, ratusan ribu pelajar di Bali dihantui putus sekolah. Angka yang disebut adalah 1.686 anak usia sekolah usia antara 6-18 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial untuk pergi dari bangku sekolah sebelum mengantongi ijazah. Hal ini disebabkan keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan yang menurutnya memberatkan. Di samping itu, cara pandang yang kurang poisitif terhadap arti pendidikan bagi kehidupan masih terdapat pada beberapa keluarga dan masyarakat miskin yang pada umumnya berpendidikan rendah. Masih ada anggapan sementara penduduk bahwa pendidikan tidak akan menjamin perbaikan taraf hidup. Hal itu berakibat mereka enggan menyekolahkan anaknya. Di samping itu terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin akan mendorong anak usia sekolah SD dan SLTP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga. Untuk daerah terpencil terhambat adanya perhubungan yang terbatas sehingga masyarakatnya sukar dijangkau pelayanan pendidikan.
Jika kenyataannya semakin banyak anak-anak tidak memiliki kesempatan
untuk sekolah dengan semestinya, maka mudah diduga ada yang salah pada
negara dan pemerintahnya. Dalam realitas seringkali dinyatakan adanya
pendidikan gratis. Tetapi, mana ada sekolah yang gratis ? Karena kenyataan,
buku, seragam, sepatu, biaya-biaya non-SPP tetap saja harus ada. Jika jarak
tempuh antara rumah dengan sekolah cukup jauh, maka harus ada biaya
transportasi. Karena biaya sekolah bukan hanya persoalan SPP yang
digratiskan, maka mereka yang berada dalam kemiskinan tetap tak mampu
menjangkau. Artinya, sumber dari tingginya angka putus sekolah tetap pada
kemiskinan.


Melihat tingginya angka putus sekolah tersebut para legislator harus memikirkan berbagai program strategis guna menekan angka pelajar putus sekolah tersebut serendah mungkin. Paling tidak program tersebut ditujukan agar anak usia sekolah di Bali mengecap pendidikan formal hingga lulus SMP atau menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Ketimbang menjanjikan pendidikan gratis yang memang terdengar tetapi belum tentu sejalan di tataran aksi praktis, akan jauh lebih reasonable jika mereka memfokuskan perhatian pada upaya pengentasan angka anak usia sekolah yang drop out (putus sekolah) dan lock out (tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi-red) lantaran ketiadaan biaya pendidikan. Dalam konteks ini, penduduk Bali yang ekonomi mapan diwajibkan tetap mengeluarkan biaya pendidikan untuk putra-putrinya. Sementara anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin, biaya pendidikannya sepenuhnya disubsidi alias ditalangi oleh pemerintah daerah.
Salah satu program strategis yang untuk mencegah pelajar putus sekolah adalah pemberian beasiswa bagi anak miskin. Pasalnya, kemiskinan atau ketiadaan biaya merupakan faktor dominan yang menyebabkan ribuan pelajar di Bali ini putus sekolah. Program lainnya adalah dengan program SD-SMP satu atap. Dengan menjadikan SD dan SMP satu atap diharapkan akan dapat menanggulangi faktor jarak tempuh yang juga menjadi faktor penyebab putus sekolah. Dengan program ini biaya transportasi, pemondokan dan akomodasi menjadi terpotong, sehingga lebih menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Anggaran untuk membangun ruang-ruang kelas baru pada sekolah satu atap ini pun sudah disiapkan. Pemprop Bali mengalokasikan anggaran Rp 2,47 milyar lebih untuk membangun ruang-ruang kelas baru di sekolah satu atap yang diprioritaskan pada daerah-daerah yang terisolasi.
Tumbuhnya kesadaran keluarga miskin untuk menyerahkan anaknya ke sekolah harus dilihat sebagai poin penting dalam upaya penanggulangan putus sekolah. Di balik itu harus disadari peliknya persoalan yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya faktor kemiskinan, ekonomi dan biaya. Di daerah yang masyarakatnya miskin atau kurang pemahaman soal pentingnya pendidikan, pekerjaan menuntaskan wajib belajar tentu tidak mudah. Jangan berharap input SDM yang secara mental siap dididik. Yang bebal pun harus diterima. Poin pentingnya adalah bagaimana menjadikan anak yang potensial terpinggirkan dari dunia sekolah menjadi terangkul dalam pendidikan. Bukan justru menjadikan potensi-potensi itu tambah terlempar, menjadi ketakutan sekolah dan memperbesar jumlah putus sekolah. Misalnya, akibat menjadi sasaran kemarahan dan cercaan guru sebagai anak bodoh, atau bahkan jadi sasaran penganiayaan pendidik yang kesal.
Dengan adanya keseriusan dan kesigapan dari pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti halnya kebijakan dana bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah, maka angka anak yang putus sekolah di Bali akan dapat di tekan. Disamping itu peranan dari pihak sekolah beserta dengan orang tua dalam menekan jumlah anak yang putus sekolah juga sangat diperlukan dan berpengaruh akan jumlah anak yang akan putus sekkolah.
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah.
Pendidikan mutlak harus dibenahi. Tidak untuk diperingati harinya saja setiap setahun sekali. Tapi siapapun yang hari ini merasa tidak puas dengan pendidikan anak-anak kita, ayo kita lawan momok-momok pendidikan: mahalnya biaya, kualitas rendah, rendahnya perhatian pendidikan mental spiritual. Partisipasi masyarakat dalam meminimalkan momok-momok itu adalah modal sosial yang menjadi senjata ampuh kebangkitan pendidikan di negeri ini.

0 komentar: