BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 31 Mei 2009

Setan Bagi Siswa


“UAN” suatu kata yang membuat bulu kuduk para pelajar merinding. Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak kebijakan dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan perubahan wacana yang mendasar.

Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 68, pelaksanaan ujian nasional bermaksud agar hasil UN dijadikan:
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Hal itu juga di benarkan oleh pak adnyana selaku wakasek kurikulum di sma 3 denpasar. “Sebenarnya UAn itu untuk mengukur seberapa besar daya serap standar nasional”, tegas pria yang sehari-hari mengajar geografi.
Namun para siswa memandang dari sudut yang berbeda. Misalnya saja tanggapan dari Gede Bandar Wiraputra, salah satu siswa kelas XII IPA 1 yang baru-baru ini mengikuti UAN. “UAN itu sama sekali tidak efisien. Tahun lalu saja sudah banyak yang tidak lulus. Kalau terus dinaikkan standarnya bias-bisa banyak siswa yang berhenti sekolah gara-gara nggak lulus UAN”, aku Bandar (sapaan akrabnya).
Memang sejak diberlakunya UU 23 tahun 2003, dan merujuk pada PP 19 tahun 2005, maka standar kelulusan (SKL) siswa pada UAN/UN dinaikkan secara bertahap, yakni

UAN 2003 : SKL >3.00
UAN 2004 : SKL >4.00
UAN 2005 : SKL >4.25
UAN 2006 : SKL >4.50
UAN 2007 : SKL >5.00
UN 2008 : SKL >5.25
UN 2009 : SKL >5.50

Meskipun standar kelulusan terus ditingkatkan, namun ternyata tingkat kelulusan juga tinggi [dan dalam beberapa tempat semakin tinggi]. Lalu, apakah dengan angka SKL dan kelulusan meningkat telah menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia telah meningkat???


Sudah hampir 5 tahun UAN/UN berjalan, namun yang paling mendasar belum tersentuh oleh pemerintah. Pemerintah lebih senang melihat angka-angka di SKL yang terus naik, tapi lupa bahwa ada satu PR terbesar yang belum benar-benar tergarap.

Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru

0 komentar: